Informasi Dunia Selebritis, Sports dan Film, Terima kasih telah berkunjung di blog ini...

Iklan-Iklan

Dokter-Dokter Perempuan Penyembuh Problem Laki-Laki

Belum banyak dokter perempuan di Indonesia yang mendalami problem seksual. Sebab, sebagian besar pasien bidang yang satu itu adalah kaum pria. Nah, dokter-dokter wanita berikut berani mengambil tantangan itu.



---

Dokter perempuan yang memilih untuk menangani gangguan fungsi seksual memang masih sedikit. Bahkan, dokter perempuan yang mengambil spesialisasi andrologi, yaitu spesialisasi medis yang berhubungan dengan kesehatan pria serta berkaitan dengan sisem reproduksi dan urin bisa dihitung dengan jari.

Dokter Anita Gunawan SpAnd, 64, yang bekerja di RS Pusat Pertamina (RSPP) dan RS Pondok Indah (RSPI), Jakarta, adalah salah seorang di antara yang langka tersebut. Bahkan, Anita adalah dokter perempuan pertama di Indonesia yang memutuskan untuk mengintimi bidang andrologi. Spesialisasi yang umumnya diambil dokter laki-laki. Anita berhasil meraih gelar androlog pada 1989 dari Fakultas Kedokteran Unair. ''Saya menjadi yang pertama waktu itu. Sekarang nggak terasa sudah 20 tahun,'' ungkapnya.

Perempuan asli Surabaya itu menceritakan, pada 1984, Unair membuka spesialisasi andrologi. Anita tertarik mengambil andrologi lantaran bidang tersebut boleh dibilang baru dan belum terlalu banyak yang mendalami. ''Senior saya yang ngambil di luar negeri waktu itu cukup banyak. Tapi, ya laki-laki semua,'' kata Anita. Ketika angkatan pertama pada 1985 dibuka, Anita memutuskan untuk mendaftar.

Menurut dia, andrologi adalah bidang yang menarik lantaran terkait spesialisasi lain. Misalnya, penyakit dalam dan urologi (sistem kemih). Kenyataannya, ilmu itu jauh menarik daripada apa yang dia bayangkan. Dalam hati Anita berkata, pada era mendatang, persoalan gangguan seksual pada pria akan meningkat. Hal itu lantaran dipengaruhi gaya hidup yang buruk maupun faktor kasus penyakit degeneratif yang terus meningkat. Untuk itulah, peran androlog akan semakin dibutuhkan. Pada 1991, dia memilih hijrah ke Jakarta untuk mengembangkan kompetensinya.

Anita menuturkan, kali pertama dirinya menangani pasien laki-laki cukup kikuk. Sebab, sebagai androlog, dia juga harus memeriksa dan memegang ''burung'' pria.

Sebelumnya, sebagai dokter umum, berbagai penyakit dia tangani. Namun, sejak menyandang gelar androlog, Anita hanya bersentuhan dengan masalah yang berhubungan dengan gangguan seksual. ''Sempat kikuk. Kemudian, rasa itu saya tepis. Sebab, kalau saya kikuk, apa lagi pasien saya,'' tuturnya.

Apalagi, sekitar 95 persen pasiennya adalah laki-laki. Menyentuh mereka sudah merupakan bagian dari pekerjaannya sehari-hari. Termasuk, menerapi pasien laki-laki. Anita pun harus memeriksa bagian ''terdalam'' laki-laki. "Lha terus gimana lagi. Kalau nggak diperiksa atau dipegang, apa bisa disembuhkan?'' ujarnya.

Memang, kata Anita, tak semua pasien laki-laki mau langsung diperiksa. Beberapa di antara mereka malu-malu. Jika sudah demikian, Anita memberikan pengertian terhadap pasiennya. Sebelum memulai pengobatan, Anita melakukan konseling dan wawancara panjang dengan pasien. ''Dari wawancara itu saya tahu apa penyebabnya. Kalau nggak bisa ereksi, penyebabnya apa? Harus diselesaikan. Kalau tidak diperiksa, nggak tahu ada kelainan atau tidak,'' jelas empat bersaudara itu. Dari pemeriksaan itu akan dilanjutkan apakah perlu ada tambahan pemeriksaan (laboratorium) dan terapi yang sesuai untuk pasien.

Kuncinya, kata dia, menumbuhkan kepercayaan pasien terhadap dirinya. ''Kalau pasien sudah percaya dengan kita, semua persoalan akan mengalir. Mereka juga akan mempercayakan pengobatan kepada saya,'' ungkap dokter berambut pendek itu. Untuk itu, sering Anita memosisikan diri sebagai teman.

Jika setelah melalui pendekatan dan pasien tetap tak mau diperiksa, Anita tidak memaksa. ''Mau gimana lagi? Nggak mungkin dong dipaksakan,'' imbuhnya.

Kadang Anita berhadapan dengan pasien yang sulit sekali mengutarakan problem seksualnya. Tapi, sekarang Anita bersyukur karena seiring dengan keterbukaan informasi, mindset itu sudah mulai berubah. ''Walaupun, sampai sekarang masih banyak yang enggan mengutarakan kepada dokter perempuan. Tapi, setidaknya sudah mulai terbuka jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu," ungkap perempuan yang hobi berkebun itu.

Selama 20 tahun ''mengobok-obok'' jeroan laki-laki, Anita seudah menangani berbagai kasus. Terutama, infertilitas (ketidaksuburan) pada pria, disfungsi seksual (disfungsi ereksi dan ejakulasi dini), hipogonadisme (penis kecil pada anak-anak), aging (andropause), maupun KB pria. Tapi, khusus kasus yang terakhir, animo pemakaian KB pada laki-laki di Indonesia masih rendah.

Anita mengatakan, pasiennya datang dari berbagai latar belakang status sosial dan beragam usia. Pasien disfungsi seksual rata-rata berusia 35-40 tahun. Namun, ada juga kecenderungan pasien muda yang mengalami gangguan seksual. Biasanya, kata Anita, faktor pemicunya adalah masalah psikologis. Misalnya, stres, tekanan kehidupan, maupun rasa tidak percaya diri lantaran khawatir tidak bisa memuaskan pasangan. Faktor lain adalah masalah organik (penyakit degeneratif). Sementara, untuk gangguan infertilitas, pasien yang datang mayoritas berusia subur 25-35.

Anita menyebutkan, ada juga remaja yang sudah mulai berani berkonsultasi. Mereka mayoritas mengeluh tak bisa ereksi atau mengalami ejakulasi. Bagi mereka yang belum menikah, untuk menghindari gaya hidup seks bebas, Anita menyarankan seks paling aman adalah dengan masturbasi. ''Dengan syarat, menjaga kebersihan, daripada jajan. Bahaya,'' tegas ibu tiga anak itu.

Berbagai pengalaman lucu dan menarik juga dia alami. Ada pasien yang mengaku ketakutan untuk datang ke androlog. Bahkan, ada yang sampai berbulan-bulan baru memutuskan datang. Karena itu, Anita serius dalam merespons apa pun curhat pasien. ''Jadi, kalau sekarang mereka berani datang, berarti sudah siap diperiksa. Sebelum-sebelumnya, mau curhat aja muter ngomongnya. Ada yang sampai berkeringat,'' tuturnya.

Berbagai keluhan diutarakan pasien. "Dok, itu saya nggak bisa berdiri. Yang inilah, itulah,'' imbuhnya.

Ada juga pasien yang datang ditemani pasangannya (istri). Dalam beberapa kasus, sang istrilah yang justru membuka konseling untuk berbagi masalah gangguan seksual suaminya. Ada juga pasien yang datang tanpa sepengetahuan istrinya. ''Ya karena tidak ingin pasangannya tahu, malu atau apalah,'' sebutnya.

Namun, Anita menyarankan pasien yang datang lebih baik ditemani pasangannya. Tujuannya agar terapi lebih mudah dilakukan karena keduanya sama-sama tahu problem seksual yang dialami pasanganya.

Menurut Anita, suka-duka sebagai androlog juga kerap mewarnai hari-harinya. Dia merasa bahagia jika berhasil menyembuhkan pasien. Kadang, kata dia, pasiennya datang bersama buah hatinya yang sudah berusia beberapa bulan. ''Mereka ingin kasih lihat jika sudah berhasil punya anak. Wah, saya paling senang jika pasien saya akhirnya punya keturunan,'' ujar istri Gunawan Tirta Raharja itu.

Namun, bukan berarti tidak ada duka yang menyelimuti perjalanan karirnya. Ada juga beberapa pasien laki-laki yang ''nakal'' dan melayangkan godaan kepada Anita. ''Yang pasti ada. Tapi, bergantung kita menanggapi. Biasa aja, pura-pura tidak ngerti. Lain kali mereka akan merasa kok,'' ujarnya. Namun, kata Anita, mayoritas pasiennya bersikap sopan.

Bagi Anita, androlog perempuan juga merupakan tantangan. Betapa tidak, tak jarang orang memandang profesinya sebelah mata. Bahkan, hal itu pernah dilakukan teman sejawatnya. Merespons sikap demikian, Anita kerap acuh tak acuh. ''Saya ketawa aja, wong itu pekerjaan saya,'' ungkapnya.

Namun, seiring dengan perubahan zaman, sikap dan perilaku meremehkan jarang dia terima. ''Yang penting kompetensinya,'' kata Anita.

Pada usia ke-64, boleh dibilang wajah Anita terlihat lebih muda. Wajahnya cerah dan model rambutnya dipotong pendek. Sering para kolega memuji dia lantaran selalu terlihat lebih muda. Sejatinya, kata Anita, resepnya adalah menikmati hidup. (jawapos)



0 komentar:

Leave a Reply

Tukeran Link

Pengikut

Video-Video

Photos